Langsung ke konten utama

MEDIA SOSIAL SEBAGAI JEMBATAN MENJADI SEORANG SASTRAWAN



           
            Sastra adalah keindahan, entah itu dari segi gaya bahasa ,isi  atau diksi.  Seseorang yang gemar bersastra konon memiliki sifat romantis dan jago menggombal. Hal ini bisa dilihat bagaimana cara dia berekspresi lewat lisan atau tulisan-tulisannya. Baik berupa puisi, cerita pendek atau novel. Dari tulisannya tersebut, jika dia seorang pria; maka akan ada barisan para wanita-wanita baik dari kalangan remaja atau dewasa menjadi fans beratnya. Terlepas hasil karya sastranya tersebut berbobot atau tidak, asalkan bisa memuaskan selera pasar terutama perempuan-perempuan muda yang hobi bacaan teenlit atau sastra pop  asalkan  menghibur, lucu dan ada bumbu cinta-cintaan, tak peduli cinta monyet si anak alay.
            Sesekali menyelami bagaimana sih cara remaja mengekspresikan diri lewat tulisan? Apakah persis sama dengan tingkah laku sebenarnya atau mereka memiliki daya imajinasi tinggi hingga menembus ke planet lain di luar angkasa sana. Seperti sebuah buku karya Lis Cyntia, berjudul Pengkhianat dari Planet Venturion, terbitan PT. Pustaka Utama Grafiti, 1987. Buku yang berkisah tentang petualangannya sebagai seorang astronot perempuan mengunjungi planet baru di ruang angkasa sana. Ketertarikannya tentang dunia astronomi dituangkannya menjadi sebuah buku dan tak boleh dipandang sebelah mata. Sebuah lompatan hebat seorang anak muda pada zaman itu.  “Saya mulai mengenal astronomi dari saudara sepupu dan sahabat karib,” tuturnya di halaman belakang cover buku tersebut. Mahasiswi jurusan Elektro Fakultas Teknologi Industri di Usakti, Jakarta. Merasa tertarik dan timbul gagasannya menulis cerita fiksi ilmiah yang pada waktu itu masih langka di Indonesia.     

           

            Sejak diciptakannya situs jejaring sosial facebook oleh Mark Zuckerberg, para sastrawan mulai dari yang sudah kampiun atau mereka yang berlagak sok sastrawan mulai membombardir beranda mereka dengan kalimat-kalimat puitisnya. Entah itu hasil renungan sendiri yang dibuktikan dengan gerakan ibu jari pada tuts-tuts di layar android mereka atau mengcopy paste karya orang lain. Bangga, jika status yang diposting mendapat banyak like atau tanda hati dari para teman di media sosial tersebut. Maka, si empunya akun merasa bahwa dirinya sudah menjadi seorang sastrawan, meskipun masih dalam level dunia maya. Tidak buruk memang, jika menuliskan kalimat-kalimat indah lewat jejaring sosial facebook selama itu karya jempol sendiri, bukan hasil copy paste karya orang lain. Alih-alih mendapat pujian dan applause dari para pembaca, malah mendapat cibiran dan bisa diblack list.
            Satu sisi positif dari keberadaan media sosial tersebut, bisa menjadi wadah berkreasi dan berekspresi, perkara apakah tulisan-tulisan mereka berbobot atau masih bercerita tentang perkenalan, jatuh cinta, pacaran, cemburu, sakit hati, dan putus cinta; paling tidak mereka sudah berani melangkah maju dengan menggerakkan kedua ibu jarinya di layar hp androidnya. Meskipun harus merogoh kocek untuk membeli paket data internet, asalkan mereka bisa menyalurkan hasrat, syukur bisa mewujudkan impiannya untuk menjadi seorang penulis. Bukan sebatas menjadi penulis di facebook, yang hanya menghabiskan kuota sekian gigabyte, syukur-syukur bisa melahirkan sebuah buku yang selama ini masih menjadi impian diawang-awang.                   
            Di dalam facebook sendiri, banyak group sastra; baik group latihan kepenulisan, group event lomba puisi atau cerpen yang menawarkan iming-iming hadiah berupa gratis dana terbit dan atau buku hasil event tersebut akan dibagikan kepada para kontributor yang berkenan mengganti ongkos cetaknya, jika event tersebut merupakan event bersama. Dan group kepenulisan tersebut lumayan banyak peminatnya, bukan hanya dari kalangan remaja yang tengah belajar bersastra, dari para sastrawan sepuh pun tak ketinggalan ikut meramaikan jagat literasi di dunia maya.
             
            Inilah geliat semangat berkesenian lewat media sosial yang saat ini seperti jamur  tumbuh di musim penghujan. Betapa tidak, munculnya para penulis baru dengan buku perdananya menjadi kebanggan tersendiri di dalam hati mereka. Karena, tulisan-tulisan yang sebelumnya hanya diposting lewat akun facebook  yang mereka miliki, kini benar-benar telah lahir sebagai “seorang anak” yang menggemaskan. Meskipun setelah menjadi sebuah buku, masih terjadi typo atau salah ketik, tak menjadi masalah  asalkan mereka sudah mampu membuktikan bahwa mereka pun mampu melahirkan sebuah buku sama seperti para penulis hebat yang karyanya sudah dibaca ratusan bahkan ribuan umat manusia.
            Semangat menulis mereka patut diacungi jempol, walaupun tulisan-tulisannya masih berkutat tentang asmara remaja, tapi bukan berarti di kemudian hari mereka bisa menjadi maestro di dunia sastra melanjutkan para sesepuh yang sudah kampiun. Toh, seorang penulis hebat pun tak lantas muncul begitu saja dengan hasil karyanya yang wow tersebut. Sebut saja Dewi Lestari dengan Supernovanya, Andrea Hirata dengan Laskar Pelanginya yang sempat difilmkan dengan judul yang sama atau Darwis dengan nama samarannya yang dikira nama  seorang perempuan, Tere Liye. Mereka adalah penulis-penulis muda yang hasil karyanya lumayan dikenal di kalangan anak-anak muda Indonesia.
            Bukan mustahil, penulis facebook atau sastrawan dunia maya akan menjadi seorang  penulis hebat yang memulai usahanya dengan menerbitkan tulisannya lewat jalur penerbit indie atau lebih sering disebut self publishin yang semua uba rampai, dari biaya terbit dan biaya cetaknya ditanggung oleh penulis sendiri bahkan untuk pemasarannya pun dilakukan oleh si penulis. Entah itu dipromosikan ke teman-teman sekolah atau kampusnya maupun lewat media online. Bukankah tingginya gunung bisa di daki mulai dari bawah?
           

            Menjadi kebanggan tersendiri saat buku perdana mereka lahir ke dunia nyata. Dengan gencarnya, mengupload foto-foto buku beserta caption persuasif agar teman-teman dalam akun facebooknya berminat untuk order buku yang telah berhasil dilahirkannya. Ini menjadi penyemangat untuk terus berkarya dan melahirkan anak-anak barunya yang lebih cantik dan menggemaskan.
            Patut diapresiasi karya mereka meskipun mungkin masih sederhana, namun mereka telah ikut mewarnai jagat kasusastraan di negeri ini bahkan di dunia. Maka, bermedsoslah dengan bijaksana. Bukan bermedsos hanya untuk menebar kebencian dan berita-berita hoax, Saracen. Lebih baik, gunakan akun media sosialmu untuk mewujudkan impian menjadi seorang sastrawan dengan lahirnya anak-anakmu yang kerap dipanggil “Buku”.

Ajibarang, 26 Maret 2018








Komentar

Postingan populer dari blog ini

FIKSI

Kita hanya lakon dalam ceritaNya bersama-sama tampil ke panggung menghapal naskah setelah usai, satu persatu akan dikemas dalam kotak yang terkunci menunggu datang episode baru. 11042018

JANGAN BERSEDIH MESKI NASI SUDAH MENJADI SEMANGKUK BUBUR

MENGINTIP DUNIA LEWAT BUKU

      Bertamasya sekaligus berpetualang yang tak butuh banyak biaya bisa dilakukan dengan jalan membaca. Entah itu membaca buku, majalah maupun koran. Namun minat baca dikalangan masyarakat kita masih sangat kurang dibandingkan dengan masyarakat di negara maju. Di sana, orang lebih suka memanfaatkan waktu luangnya untuk membaca, ketika didalam kendaraan umum, dalam kereta api misalnya. Lain halnya dengan di Indonesia, justru asyik berkutat dengan gadgetnya.      Untuk menumbuhkan minat baca seseorang, bisa dimulai dari keluarga,saat si anak mulai mengenal huruf dan belajar membaca; Orang tua selayaknya menyediakan ruang special dalam rumahnya untuk dijadikan perpustakaan keluarga atau paling tidak menyediakan bacaan bermutu yang disesuaikan dengan tingkatan usia anggota keluarga.      Seseorang yang gemar membaca biasa disebut dengan si Kutu Buku, seringkali di gambarkan dengan sesosok orang berkacamata tebal, rambut licin dan tertata rapi, dengan baju kancing hingga leher, gigi